6.28.2009

Review Kasus Buruh PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi : Akumulasi Kekecewaan Buruh Yang Sudah Memuncak (Bagian I)

Sebagaimana dilansir oleh beberapa media online bahwa PT. Davomas Abadi Tbk merupakan perusahaan coklat terbesar ketiga di dunia. Sebuah perusahaan yang sahamnya sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Munculnya perlawanan buruh terhadap perusahaan PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi sebenarnya gejalanya sudah muncul sejak lama.
Kekhawatiran rekan-rekan buruh PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu, ketika pihak perusahaan pada bulan Mei 2006 hanya membayar uang pesangon karyawan yang meninggal dunia yaitu Almarhum Asep Saepudin dan Almarhum Ujang Sukatma hanya dibayarkan sebesar 50% dari ketentuan yang seharusnya dibayarkan dalam UU No. 13 Tahun 2003, itupun setelah melalui proses tawar-menawar yang melelahkan karena pihak perusahaan sebelumnya menawar lebih rendah dari itu. Akhirnya pihak ahli waris dengan tidak mempunyai pilihan lain terpaksa menerima uang pesangon yang diberikan oleh perusahaan yang jauh dibawah ketentuan.
Dan kemudian pihak karyawan yang diwakili oleh Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin (SP LEM – SPSI) PT. Davomas Abadi Tbk harus dihadapkan pada kenyataan dimana perusahaan selalu menyanyikan ‘lagu lama’ dengan menggunakan pola tawar tidak mau membayar pesangon sesuai ketentuan terhadap 4 (empat) orang karyawan yang pensiun yaitu N. Priyatna, Surito, Aja Sonjaya dan Sod’i.
Tindakan perusahaan yang selalu menawar-nawar hak pesangon karyawan yang seharusnya dibayarkan penuh oleh perusahaan membuat gerah para karyawan, dan PUK SP LEM SPSI PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi sebagai refresentasi karyawan PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi dengan didampingi oleh Biro Advokasi dan Bantuan Hukum DPC K-SPSI sebagai induk organisasi membawa persoalan ke-4 karyawan yang dipensiun tersebut ke penyelesaian tingkat mediasi di Disnakertrans Kab. Sukabumi dan anjuran dari Mediator Ketenagakerjaan pada Disnakertrans Kab. Sukabumi tersebut memenangkan gugatan karyawan.
Tapi anjuran dari Mediator Ketenagakerjaan yang memenangkan karyawan tersebut tidak dihiraukan oleh pihak perusahaan bahkan ada kesan pihak perusahaan mengabaikan anjuran tersebut. Dalam mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 mestinya kalau salah satu pihak menolak anjuran dari Mediator Ketenagakerjaan yang menolak tersebut harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Tapi ditunggu-tunggu gugatan itu tidak juga diajukan oleh pihak perusahaan, dan akhirnya karena pihak karyawan tidak mau kasusnya berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum maka Biro Advokasi dan Bantuan Hukum DPC K-SPSI dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengajukan gugatan ke PHI Bandung. Dan Alhamdulillah lagi-lagi kasusnya dimenangkan oleh pihak karyawan.
Sebagai konsekuensinya karena perusahaan (dalam hal ini PT. Davomas Abadi Tbk) kalah pada tingkat Pengadilan Hubungan Industrial di Bandung, maka pihak perusahaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tapi ketika menunggu putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut kalangan buruh Sukabumi khususnya buruh PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi harus kehilangan orang yang ikut memperjuangkan ke-4 karyawan yang pensiun tersebut, dia adalah Ketua Pengurus Unit Kerja SP LEM SPSI PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi yaitu Almarhum Tandi ‘Obos’ Suwardi yang meninggal dunia pada minggu ke-2 bulan Juni 2008. Dan hasil perjuangan almarhum Tandi ‘Obos’ Suwardi tersebut membuahkan hasil karena pada tanggal 23 Juni 2008 seminggu setelah Sdr. Tandi Suwardi meninggal dunia, Mahkamah Agung RI melalui putusan kasasi No.: 153 K/PDT.SUS/2008 memenangkan ke-4 karyawan yang pensiun sebagaimana dimaksud diatas.
Tapi berita kemenangan dari putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut harus ternodai dengan datangnya berita buruk dari perusahaan PT. Davomas Abadi Tbk yang menawar uang pesangon Almarhum Tandi Suwardi (mantan Ketua PUK) hanya sebesar 50%, dan akhirnya dengan proses negoisasi yang melelahkan dengan pihak ahli waris, pihak perusahaan hanya sanggup membayar uang pesangon almarhum sebesar 80% dari ketentuan yang seharusnya dibayarkan oleh pihak perusahaan.
Dan pada saat putusan kasasi MA pun keluar, pihak perusahaan tetap tidak mau membayar uang pesangon ke-4 karyawan yang telah dimenangkan dalam putusan kasasi tersebut. Bahkan sebaliknya pihak perusahaan mencari akal untuk menghindar dari kewajibannya sebagaimana yang diputuskan dalam putusan kasasi MA tersebut dengan cara ‘mengkriminalisasi ke-4 karyawan tersebut’ dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri Kota Sukabumi (Jl. Bhayangkara – Sukabumi), dan akhirnya gugatannya ditolak oleh Pengadilan Negeri.
Sekali lagi, walaupun putusan kasasi dimenangkan oleh karyawan dan upaya perusahaan untuk menggugat balik karyawan ditolak oleh pengadilan negeri, tapi tetap saja pihak PT. Davomas Abadi Tbk tidak mau membayarkan uang pesangon terhadap ke-4 karyawan yang pensiun.
Dari situ sangat jelas bahwa perusahaan PT. Davomas Abadi Tbk tidak punya itikad baik untuk menjalankan putusan kasasi MA, bahkan ada kesan pihak perusahaan dengan sengaja melakukan pembangkangan dan perlawanan terhadap hukum yang berlaku di negeri ini.
Peringatan (aanmaning) yang diajukan oleh pihak karyawan melalui kuasanya Biro Advokasi dan Bantuan Hukum DPC K-SPSI Kab. Sukabumi dan LBH Bandung pun seolah-oleh dipermainkan oleh perusahaan dan pengadilan. Sangat jelas terlihat ada main mata antara PT. Davomas Abadi Tbk dengan pihak pengadilan, karena setiap mengajukan aanmaning (peringatan) untuk segera dilakukan eksekusi pihak perusahaan dan pengadilan selalu berkilah belum menerima salinan putusan kasasi MA tersebut. Suatu hal yang mustahil, masa putusan kasasi yang sudah hampir 1 (satu) tahun belum nyampe ke tangan perusahaan. Sementara kalau pihak karyawan memberikan salinan putusan kasasi MA yang diterima oleh pihak karywan, pihak perusahaan seakan tidak mau menerima dan mengakui salinan putusan kasasi MA tersebut.
Belum selesai putusan kasasi MA yang memenangkan karyawan dijalankan oleh perusahaan, tiba-tiba perusahaan mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan mengeluarkan surat pernyataan yang dipaksakan untuk ditandatangani oleh pihak karyawan.
Sejak awal sudah tercium aroma busuk dibalik pemaksaan tanda tangan surat pernyataan yang dibuat secara sepihak oleh PT. Davomas Abadi Tbk tersebut, dimana dibalik surat pernyataan itu pihak buruh sudah mencium rencana busuk perusahaan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang dengan modal surat pernyataan tersebut. Apalagi dari beberapa informasi yang masuk ke karyawan, di PT. Davomas Abadi Tbk Tangerang pihak karyawan yang menandatangani surat pernyataan langsung diubah statusnya dari karyawan tetap menjadi karyawan kontrak tanpa diberikan uang pesangon terlebih dahulu. Bahkan ada kabar lagi di PT. Davomas Abadi Tbk Cabang Gresik pihak karyawan yang menandatangani surat pernyataan secara bertahap di keluarkan alias diberhentikan tanpa diberikan pesangon.
Dari kondisi tersebut, jelas sangat menimbulkan kekhawatiran bagi pihak karyawan PT. Davomas Abadi Tbk - Sukabumi hingga akhirnya membuat karyawan kompak untuk menolak menandatangani surat pernyataan tersebut sebelum pihak perusahaan memberikan penjelasan detail mengenai maksud dan tujuan serta point-point yang ada dalam surat pernyataan tersebut.
Dan konyol-nya lagi pihak perusahaan ketika dimintai penjelasan oleh karyawan mengenai maksud dan tujuan serta point-point yang ada dalam surat pernyataan tersebut tidak pernah mau menjelaskan, bahkan justeru pada tanggal 19 Februari 2009 pihak perusahaan mengeluarkan pengumuman yang isinya melarang masuk kerja terhadap karyawan yang tidak mau menandatangani surat pernyataan, dan karyawan yang tidak tanda tangan dianggap MENGUNDURKAN DIRI.
Kontan saja, pengumuman yang dikeluarkan pihak PT. Davomas Abadi Tbk tersebut mengundang kemarahan bagi karyawan dan pada saat itu juga langsung melakukan unjuk rasa di depan pabrik PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi Jl. Babakan Parakanlima Cikembar – Sukabumi.
KEMARAHAN KARYAWAN SEMAKIN MEMUNCAK KETIKA PADA TANGGAL 23 FEBRUARI 2009 MUNCUL SURAT NO. : 012/DA/CS/II/09 DARI PT. DAVOMAS ABADI TBK YANG DITUJUKAN KE KEPALA BAPEPAM-LK DAN DIREKSI BURSA EFEK INDONESIA YANG ISINYA PT. DAVOMAS ABADI TBK MEMBANTAH MEMPUNYAI PABRIK DI SUKABUMI.
Sehingga dari kronologis diatas, sangat wajar apabila buruh PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi melakukan perlawanan. Perlawanan bukan saja untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan serta menggugat pertanggungjawaban perusahaan, TAPI juga melakukan penggugatan terhadap peran negara atau pemerintah yang semestinya melindungi buruh BUKAN JUSTERU SEBALIKNYA.
Tindakan protes yang dilakukan karyawan terhadap PT. Davomas Abadi Tbk selama ini susah membuahkan hasil karena perusahaan merasa kebal hukum dan perundingan yang dilakukan selama ini dengan pihak karyawan tidak pernah ditempatkan sebagai sarana kemitraan dalam hubungan industrial. Karena setiap ada perundingan, pihak perusahaan tidak pernah membuka ruang dialog yang setara dengan serikat pekerja yang diwakili PUK SPSI dan karyawan melainkan memposisikan karyawan sebagai pihak yang harus menerima apapun yang diputuskan oleh perusahaan, dan hampir setiap perundingan pihak perusahaan selalu menurunkan pihak lawyer atau pengacara perusahaan bukan pihak manajemen perusahaan. Suatu hal yang ironis dalam membangun kemitraan pada tingkat bipartite di perusahaan.
Tapi kita harus bersepakat, untuk bersatu melawan penindasan...
Hidup Buruh...!

2 HARI LAGI (Rabu, 01 Juli 2009) : Persidangan Lanjutan Kasus Buruh PT. Davomas Abadi Tbk di PN Cibadak

MEMPERJUANGKAN HAK-HAK BURUH BERUJUNG GUGATAN 99 MILYAR

Perjalanan kasus yang dialami oleh buruh PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi telah memberikan gambaran begitu sulitnya memperjuangkan keadilan dan hak-hak buruh di Sukabumi dan mungkin juga di Indonesia, negeri yang kita cintai ini.
Munculnya perlawanan buruh terhadap perusahaan PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi sebenarnya gejalanya sudah muncul sejak lama, ketika pihak perusahaan pada bulan Mei 2006 hanya membayar uang pesangon karyawan yang meninggal dunia yaitu Almarhum Asep Saepudin dan Almarhum Ujang Sukatma hanya dibayarkan sebesar 50% dari ketentuan yang seharusnya dibayarkan dalam UU No. 13 Tahun 2003, itupun setelah melalui proses tawar-menawar yang melelahkan karena pihak perusahaan sebelumnya menawar lebih rendah dari itu. Akhirnya pihak ahli waris dengan tidak mempunyai pilihan lain terpaksa menerima uang pesangon yang diberikan oleh perusahaan yang jauh dibawah ketentuan.
Dan kemudian pihak karyawan yang diwakili oleh Pengurus Unit Kerja Serikat Pekerja Logam Elektronik dan Mesin (SP LEM – SPSI) PT. Davomas Abadi Tbk harus dihadapkan pada kenyataan dimana perusahaan selalu menyanyikan ‘lagu lama’ dengan menggunakan pola tawar tidak mau membayar pesangon sesuai ketentuan terhadap 4 (empat) orang karyawan yang pensiun yaitu N. Priyatna, Surito, Aja Sonjaya dan Sod’i.
Tindakan perusahaan yang selalu menawar-nawar hak pesangon karyawan yang seharusnya dibayarkan penuh oleh perusahaan membuat gerah para karyawan, dan PUK SP LEM SPSI PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi sebagai refresentasi karyawan PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi dengan didampingi oleh Biro Advokasi dan Bantuan Hukum DPC K-SPSI sebagai induk organisasi membawa persoalan ke-4 karyawan yang dipensiun tersebut ke penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dan pada tingkat mediasi dan pengadilan kasusnya dimenangkan oleh pihak buruh, bahkan pada tingkat kasasi-pun tetap dimenangkan oleh pihak buruh.
Dan pada saat putusan kasasi MA pun keluar, pihak perusahaan tetap tidak mau membayar uang pesangon ke-4 karyawan yang telah dimenangkan dalam putusan kasasi tersebut. Bahkan sebaliknya pihak perusahaan mencari akal untuk menghindar dari kewajibannya sebagaimana yang diputuskan dalam putusan kasasi MA tersebut dengan cara ‘mengkriminalisasi ke-4 karyawan tersebut’ dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri Kota Sukabumi (Jl. Bhayangkara – Sukabumi), dan akhirnya gugatannya ditolak oleh Pengadilan Negeri.
Sekali lagi hukum bagi buruh PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi menjadi sebuah keniscayaan. Bagaimana tidak? Putusan kasasi yang memenangkan pihak buruh PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi yaitu N. Priyatna, Surito, Aja Sonjaya dan Sod’I telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap pun dengan putusan Nomor : 153 K/PDT.SUS/2008 sampai hari ini belum di-eksekusi.
Dan hari ini ketika buruh memperjuangkan hak-haknya untuk mendapatkan upah dan memperoleh kejelasan dari perusahaan, dan serikat pekerja/serikat buruh sebagai bagian yang tak terpisahkan dari implementasi kebebasan berserikat sebagaimana dilindungi oleh UUD 1945, UU No. 21 Tahun 2001 dan Konvensi ILO pun digugat oleh perusahaan karena dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Gugatan yang dilayangkan oleh pihak perusahaan (PT. Davomas Abadi Tbk) terhadap para buruh sebesar RP. 99.229.690.560,- (SEMBILAN PULUH SEMBILAN MILYAR DUA RATUS DUA PULUH SEMBILAN JUTA ENAM RATUS SEMBILAN PULUH RIBU LIMA RATUS ENAM PULUH RUPIAH) terhadap buruh dan para pengurus serikat tersebut, karena buruh dan pengurus serikat dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pencemaran nama baik dengan memberikan pernyataan di media massa berkaitam dengan aksi unjuk rasa dan mogok makan yang dilakukan buruh.
Dimana aksi unjuk rasa itu sendiri dilakukan berkaitan dengan tindakan sepihak yang dilakukan oleh perusahaan yang melarang buruhnya untuk masuk kerja tanpa memberikan kejelasan status. Dan aksi itu semakin tinggi intensitasnya setelah beredarnya dari PT. Davomas Abadi Tbk dengan No.: 012/DA/CS/II/09 yang ditujukan kepada Ketua Bapepam dan LK; dan Direksi Bursa Efek Indoesia Perihal: Penjelasan Atas Permintaan Konfirmasi Bursa Tentang Pemberitaan di Media Massa tertanggal 25 Februari 2009. Dimana surat itu untuk menjawab dari surat permintaan penjelasan Nomor : S-00834/BEI.PSR/02-2009 tanggal 19 Februari 2009 berkaitan dengan pemberitaan di Kompas.Com tanggal 19 Februari 2009 dengan judul berita : ‘ Dilarang Masuk Kerja, Buruh PT. Davomas Abadi Demo’.
Dimana dalam surat penjelasan ke Bursa Efek Indonesia sebagaimana dimaksud diatas, Pihak PT. Davomas Abadi Tbk memberikan penjelasan bahwa PT. Davomas Abadi Tbk membantah mempunyai pabrik yang berlokasi di Sukabumi
Jelas, sikap perusahaan yang membantah mempunyai pabrik di Sukabumi itu sangat menyakitkan bagi para buruh, karena sudah belasan tahun mereka bekerja dan menerima gaji dari perusahaan yang namanya PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi, sehingga aksi buruhpun semakin dilakukan secara marathon bahkan dilakukan dengan cara mogok makan oleh beberapa orang buruh. Bahkan aksi buruh PT. Davomas Abadi Tbk itu telah mengundang simpati dari buruh lain untuk ikut bersolidaritas.
Pada satu sisi kita sangat menghargai upaya hukum yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Tapi pada sisi yang lain kita tidak akan pernah mentolerir tindakan yang menjadikan upaya hukum untuk mempermainkan dan menindas buruh PT. Davomas Abadi Tbk. Dan kita juga tidak akan pernah mentolerir apabila upaya hukum ini hanya akan dijadikan alat untuk menghindar dari kewajiban untuk memenuhi hak-hak normative buruh karena sampai saat ini buruh PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi belum dibayarkan upahnya.
Begitu juga berkaitan dengan putusan kasasi yang memenangkan buruh sebagaimana telah disebutkan diatas, sudah memasuki pada tahap aanmaning (peringatan), dimana pihak PT. Davomas Abadi Tbk akan dipanggil pada Hari Kamis, 16 April 2009 oleh Pengadilan Hubungan Industrial pada PN Kls IA Bandung untuk diberikan tegoran, sebagai prosedur yang harus ditempuh sebelum dilaksanakan eksekusi (surat panggilan terlampir).
Dan beberapa hari lalu jurusita dari PHI Bandung ke Pabrik PT. Davomas Abadi Tbk Sukabumi untuk menginventarisir asset-asset yang mau dieksekusi, tapi sampai saat ini proses eksekusinya belum juga dilaksanakan.
Apalagi yang dilakukan oleh buruh PT. Davomas Abadi Tbk dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh dalam hal ini SPSI merupakan upaya untuk memperoleh hak-hak normative buruh dan juga merupakan ekspresi dari kebebasan berserikat dan berpendapat sebagaimana dijamin dalam konstitusi negara UUD 1945.
Dan penyelelesaian kasus PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi sudah dilakukan dengan berbagai upaya, baik melalui upaya hukum sebagaimana disebutkan diatas dimana sudah ada putusan kasasi yang sudah in kracht terhadap 4 buruh PT. Davomas Abadi Tbk; dan terhadap kasus terakhir yang dialami oleh buruh PT. Davomas Abadi Tbk dimana pihak buruh sampai hari ini belum mendapatkan upah dan statusnya tidak jelas sudah dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya :
a.Pertemuan bipartite yang difasilitasi oleh Disnakertrans Kab. Sukabumi pada tanggal 19 Februari 2009 di Pabrik PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi Jl. Babakan Parakanlima – Cikembar – Sukabumi, dimana pihak perusahaan sampai hari ini tidak mau menerima hasil kesepakatan tersebut.
b.Pertemuan yang difasilitasi oleh Disnakertrans Kab. Sukabumi pada tanggal 25 Februari 2009 di Kantor Disnakertrans Kab. Sukabumi yang berakhir kisruh karena pihak perusahaan tidak mau kehadiran wartarwan dan DPC K-SPSI yang dimintai buruh untuk mendampingi.
c.Pertemuan yang difasilitasi oleh Disnakertrans Kab. Sukabumi pada tanggal 05 Maret 2009 di Kantor Disnakertrans Kab. Sukabumi, dimana pihak perusahaan berjanji akan menyelesaikan kewajibannya terhadap buruh.
d.Pertemuan yang dihadiri oleh Komisi IX DPR RI dan Staf Ahli Menakertrans RI pada tanggal 05 Maret 2009 (setelah pertemuan di Kantor Disnakertrans Kab. Sukabumi) dan dihadiri oleh Komisi IX DPR RI, staf ahli Menakertrans RI, Disnakertrans Kab. Sukabumi, Disnakertrans Prop. Jawa Barat, pihak perusahaan dan perwakilan buruh, dimana pihak perusahaan akan menyelesaikan kewajibannya terhadap buruh.
e.Pertemuan yang difasilitasi oleh Bupati Sukabumi pada tanggal 18 Maret 2009 yang dihadiri oleh Bupati Sukabumi, Direktur PHI Depnakertrans RI, pihak perusahaan dan perwakilan buruh PT. Davomas Abadi Tbk, dimana pihak perusahaan dihadapan Bupati Sukabumi berjanji akan memenuhi kewajiban terhadap buruh termasuk membayar upah dan bahkan pihak perusahaan berjanji akan mempekerjakan kembali.
f.Pertemuan yang difasilitasi oleh Direktorat Jenderal PHI dan Jamsos Depnakertrans RI yang dilaksanakan pada Hari Kamis 12 April 2009 di Depnakertrans RI Jl. Gatot Subroto Kav 51 Jakarta Selatan yang dihadiri oleh Direktur PHI, pihak perusahaan, Kepala Disnakertrans Kab. Sukabumi dan perwakilan buruh dimana pihak perusahaan bersepakat akan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

Kenyataannya ?
Sampai hari ini pihak perusahaan belum melaksanakan apa yang dijanjikan atau disepakati dalam upaya-upaya penyelesaian sebagaimana disebutkan diatas.
Bahkan yang menyakitkan, bukan hanya buruh yang dibohongi oleh perusahaan TAPI PEJABAT NEGARA PUN SEPERTI BUPATI SUKABUMI DAN DIREKTUR PHI DEPNAKERTRANS RI SERTA KOMISI IX DPR RI-pun telah dilecehkan oleh pihak PT. Davomas Abadi Tbk – Sukabumi.
Bukan hanya Menggugat 99 Milyar Tapi juga Memidanakan Buruh
Tindakan perusahaan PT. Davomas Abadi Tbk bukan hanya menggugat 99 Milyar lebih terhadap buruh dan pengurus serikat pekerja ke pengadilan, tapi juga berusaha memidanakan buruh dengan cara melaporkan salah satu buruh yang membuat pernyataan di media dan melakukan aksi ke pihak Kepolisian Resort Sukabumi di Palabuhanratu dengan DENGAN LAPORAN POLISI NO. POL: LP/142/III/SPK, TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK DAN PERBUATAN TIDAK MENYENANGKAN, dan kasusnya kini sedang dip roses oleh pihak kepolisian.
DAN GUGATAN PERDATA YANG DIAJUKAN PIHAK PERUSAHAAN, DILAKUKAN DISAAT PERUSAHAAN SUDAH HAMPIR 3 (TIGA) BULAN TIDAK MEMBAYARKAN UPAH BURUH. DIMANA PT. DAVOMAS ABADI TBK BUKANNYA MELAKUKAN KEWAJIBANNYA SEBAGAI PENGUSAHA UNTUK MEMBAYARKAN HAK-HAK NORMATIF BURUH BERUPA UPAH MELAINKAN MENUNTUT GANTI RUGI TERHADAP BURUH YANG JELAS-JELAS HAKNYA DIABAIKAN OLEH PT. DAVOMAS ABADI TBK.
Sebagai catatan tambahan : saat ini perusahaan juga mempunyai kewajiban untuk membayar pesangon seluruh karyawannya yang telah mengajukan permohonan PHK akibat sudah berbulan-bulan tidak dibayarkan upahnya oleh PT. Davomas Abadi Tbk, dan kasusnya sudah dimenangkan buruh pada tingkat mediasi yang ditangani Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kab. Sukabumi.

Persoalannya ?
Sebenarnya siapa yang melakukan perbuatan melawan hukum, buruh atau PT. Davomas Abadi Tbk ?
Kami sadar memperjuangkan keadilan dan kebenaran bagi kaum buruh bukanlah hal yang mudah. Tapi kami harus percaya bahwa kebenaran dan keadilan masih ada di pengadilan negeri ini. Dan kami sepakat bahwa sampai langit runtuh-pun keadilan harus tetap ditegakkan.
Jangan pernah menakut-nakuti buruh dengan hukum karena sejatinya hukum bukan untuk menakut-nakuti. Jangan pernah menjadikan hukum untuk menindas kaum buruh karena sejatinya hukum diciptakan bukan untuk menindas. Dan jangan pernah menjadikan hukum untuk berbuat sewenang-wenang dan menghindar dari kewajiban hukum…
Karena sejatinya… Hukum diciptakan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk membuat manusia taat hukum bukan melakukan pembangkangan terhadap hukum.

DAN KAMI BERSEPAKAT UNTUK TETAP MELAKUKAN PERLAWANAN TERHADAP SIAPAPUN YANG MELAKUKAN PENINDASAN DAN BERBUAT SEWENANG-WENANG TERHADAP KAUM BURUH.
Hidup Buruh….

6.21.2009

Benarkah Mega - Pro Bisa Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing?

Salah satu janji atau kommitment yang diusung oleh Pasangan Capres - Cawapres Megawati Soekarno Puteri - Prabowo Subianto untuk kaum buruh adalah menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Janji atau komitment yang diberikan oleh pasangan Mega - Prabowo tersebut tentunya sangat menggembirakan bagi kaum buruh, karena sistem kerja kontrak dan outsourcing sangat merugikan bagi kaum buruh...
Bagaimana tidak...!
Sistem kerja kontrak dan outsourcing itu telah menciptakan ketidakpastian bekerja bagi kaum buruh, dan membuat buruh/pekerja menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan tidak punya masa depan karena cara kerjanya menciptakan kekhawatiran tersendiri bagi kaum buruh karena terus dibayangi ketakutan berakhirnya masa kontrak, dan setelah kontrak selesai mereka di PHK atau diakhiri kontraknya tanpa mendapatkan kompensasi apapun dari pengusaha.
Begitu juga dengan sistem kerja outsourcing membuat hubungan kerja menjadi ngambang karena hubungan kerja tidak lagi langsung dengan perusahaan pemberi kerja tetapi antara buruh/pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, sehingga membuat positioning buruh menjadi lemah karena tidak mempunyai nilai tawar dengan perusahaan melainkan dengan perusahaan penyuplai tenaga kerja.
Diperparah lagi dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum atau law efforcement UU Ketenagakerjaan, dimana ditengah lemahnya sistem kerja kontrak dan outsourcing tersebut masih ditambah dengan penyimpangan dari ketentuan kerja kontrak dan outsourcing sebagaimana diatur dalam UU, sehingga semakin menambah deret panjang penderitaan bagi kaum buruh.
Sehingga sistem kerja kontrak dan outsourcing itu sangat 'menghantui' bagi setiap pekerja/buruh, dan karenanya sudah sepantasnya dihapuskan dari sistem dan hukum ketenagakerjaan di Indonesia.

Persoalannya...? Benarkah Mega - Pro (khususnya Megawati) punya komitment untuk menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing tersebut?

Kalau bicara kemungkinan memang sangat mungkin bagi siapapun presiden atau wakil presiden-nya untuk menghapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing tersebut, karena semua itu akan sangat tergantung pada komitment keberpihakan terhadap kaum buruh.
Tapi khusus untuk Megawati, nampaknya harus kembali dipertanyakan berkaitan dengan kommitment penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing tersebut KARENA LAHIRNYA SISTEM KERJA KONTRAK DAN OUTSOURCING TERSEBUT JUSTERU PADA SAAT KEPEMIMPINAN MEGAWATI SOEKARNO PUTERI JADI PRESIDEN.
Dimana sistem kerja kontrak dan outsourcing tersebut lahir ketika UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan lahir yang notabene-nya ditandatangani oleh Megawati Soekarno Puteri selaku Presdien-nya.
Memang tidak ada keabadian dalam politik. Semua bisa berubah sesuai dengan tuntutan jaman. Mudah-mudahan komitment Megawati untuk melakukan penghahpusan sistem kerja kontrak dan outsourcing tersebut didasarkan pada ketulusan dan kejujuran bahwa sejatinya sistem kerja kontrak dan outsourcing tersebut benar-benar sangat merugikan kaum buruh oleh karenanya harus segera dihapuskan.
Semoga....!

Komnas HAM Minta Pemerintah Tinjau Ulang Pengiriman TKI

Sumber : Hukum Online
17/06/09

Sebaiknya pengiriman TKI dihentikan dulu sebelum ada mekanisme yang jelas mengenai jaminan keamanan, keselamatan dan hak TKI di luar negeri.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ungkapan ini mungkin tepat dialamatkan kepada Siti Hajar, seorang Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Alih-alih mencari peruntungan di negara lain, gaji dan hak lainnya selama 34 bulan malah sempat tak dibayarkan. Parahnya lagi, sang majikan kerap menyiksa Siti Hajar dengan menyiramkan air panas ke sekujur tubuhnya.
Tak lama berselang, muncul lagi kisah duka TKI lain yang terungkap media massa. Nurul Widayanti, seorang TKI yang juga bekerja di Malaysia ditemukan meninggal di rumah majikannya. Dugaan sementara, ia mati karena bunuh diri.
Cerita Siti Hajar dan Nurul seolah kian memperpanjang kisah kelam para TKI di luar negeri. Tak jarang kita mendengar kabar beberapa TKI yang menjadi korban penyiksaan, pelecehan, pemerkosaan, pembunuhan atau bahkan terpaksa dideportasi karena dianggap ilegal. Namun tak sedikit juga kisah ‘sukses’ TKI yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya sepulang dari luar negeri.
Banyaknya kasus pelanggaran hak TKI yang bernuansa HAM tampaknya membuat Komnas HAM harus kerja keras. Betapa tidak, sepanjang 2008 saja Komnas HAM mencatat 169 aduan kasus terkait pelanggaran hak-hak TKI. “Saya yakin jumlah kasus yang sebenarnya lebih besar lagi. Tapi mungkin karena faktor geografis, banyak TKI maupun keluarganya yang tak mengadu ke Komnas HAM,” kata Komisiner Komnas HAM, Nurkholis kepada wartawan, Selasa (16/6).
Komnas HAM, lanjut Nurkholis, tak berusaha menyelesaikan sendiri semua aduan itu. Melainkan ‘membaginya’ dengan instansi lain seperti kepolisian maupun Departemen Luar Negeri. “Sayangnya, hanya 30 persen yang ada kabar hasil penyelesaian itu kepada kami. Penyelesaiannya macam-macam. Seperti pembayaran upah dan hak lainnya dan pemulangan TKI ke daerah asalnya.”
Meski beberapa kasus TKI bisa diselesaikan, Komnas HAM belum berpuas diri. Sebaliknya justru makin merasa bingung dengan kebijakan pemerintah dalam melindungi TKI di luar negeri. “Jika pemerintah sudah menyerah dalam melindungi TKI, sebaiknya patut dipertimbangkan kebijakan untuk menghentikan sementara pengiriman TKI. Setidaknya sampai pemerintah mampu menjamin rasa aman, kenyamanan dan hak-hak TKI,” Nurkholis mendesak.
Sebelumnya, usulan penghentian sementara pengiriman TKI –lebih spesifik yang bekerja di sektor rumah tangga (PRT)- ke luar negeri dilontarkan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat. “Maraknya kekerasan terhadap pekerja rumah tangga ini disebabkan karena sifat kerjanya yang tertutup, pola hubungan yang subyektif, dan profesi PLRT di banyak negara termasuk Malaysia, tidak dilindungi Undang-Undang Tenaga Kerja setempat,” kata Jumhur sebagaimana dikutip dari situs bnp2tki.go.id.

Revisi UU

Di tempat yang sama, Hesti Armiwulan, komisioner Komnas HAM yang lain menuding UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI sebagai salah satu penyebab maraknya pelanggaran hak TKI. “Semangat Undang-Undangnya masih lebih mengedepankan industrialisasi TKI. Bukan bagaimana melindungi dan menegakkan hak asasi para buruh migran.”
Oleh karena itu, sambung Hesti, salah satu rekomendasi yang bisa ditawarkan Komnas HAM adalah merevisi UU 39/2004 dengan melandaskan pada semangat penegakkan HAM bagi TKI. “Kalau berlandaskan HAM, tak ada masalah apakah buruh migrannya itu legal atau ilegal,” kata Anis lewat telepon, Selasa (16/6).
Senada dengan Hesti, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyatakan paradigma UU 39/2004 masih menempatkan TKI sebagai aset ekonomi. “Bukan sebagai manusia yang punya hak untuk dilindungi karena rentan terhadap berbagai masalah.”
Lebih jauh Anis berharap revisi UU 39/2004 juga memasukkan hak fundamental TKI seperti halnya hak normatif buruh yang terdapat di UU Ketenagakerjaan. Hak itu meliputi hak mendapatkan upah layak, hak berlibur, dan kebebasan berserikat.
Agar lebih bertaji, Anis mengusulkan agar revisi UU juga mengatur mengenai sanksi pidana bagi pelanggar hak TKI. “Undang-Undang yang sekarang sanksinya lemah. Cuma administratif, bukan pidana. Padahal negara berkewajiban memberi perlindungan terhadap TKI.”

6.04.2009

Kasus Prita, Pengadilan Terhadap Kebebasan Berpendapat

Kamis, 4 Juni 2009 | 20:49 WIB
Sumber : Kompas.com
Oleh Muhammad Razi Rahman
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari (32) bisa jadi merupakan salah satu peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam lembaran perjalanan penegakan salah satu hak asasi manusia, yaitu kebebasan berpendapat.
"Ya, saya melihat bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat ibu Prita sedang diadili," kata Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, Nur Kholis, kepada Antara di Jakarta, Rabu (3/6).
Nur Kholis menuturkan hal tersebut ketika ditanya apakah terdapat indikasi pelanggaran HAM dalam kasus pidana tentang pencemaran nama baik yang dilancarkan RS Omni Internasional kepada Prita.
Kasus Prita berawal ketika Prita pada 15 Agustus 2008 menuliskan keluhan dalam surat elektronik (email) kepada kalangan terbatas tentang pelayanan RS Omni Internasional di Tangerang.
Namun, isi dari surat elektronik tersebut tersebar ke sejumlah milis sehingga RS Omni mengambil langkah hukum.
Dalam gugatan perdata, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan pihak RS Omni sehingga Prita menyatakan banding.
Sedangkan kasus pidananya mulai digelar pada PN Tangerang pada Kamis (4/6). Prita dalam kasus tersebut dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah enam tahun penjara. Dengan alasan tersebut, pihak kejaksaan menahan Prita di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009.
Setelah mendapat dukungan antara lain dari ribuan pengguna internet, derasnya pemberitaan dari berbagai media massa, dan juga perhatian dari berbagai pejabat tinggi Indonesia, status Prita akhirnya diubah dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.
Nur Kholis menegaskan, tidak layak bila seseorang yang menuliskan surat keluhan lalu mendapat ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. "Itu adalah hal yang berlebihan," katanya.
Senada dengan Nur Kholis, Direktur Eksekutif LSM Indonesia Resources Legal Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing pada Selasa (2/6) mengatakan, pemidanaan kasus pencemaran nama baik itu adalah tindakan yang sangat berlebihan. "Sangat berlebihan bila sampai harus dipidanakan," kata Uli.
Menurut Uli, penyampaian keluhan dari Prita terhadap pelayanan RS Omni seharusnya merupakan bagian dari kebebasan dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sosial dan politik, antara lain menetapkan hak orang untuk menyampaikan pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyampaikan pendapat (Pasal 19).
Selain itu, Uli berpendapat bahwa Prita yang dijerat secara pidana dengan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan sukar dibuktikan oleh pihak pengadilan.
"Pengadilan harus benar-benar bisa membuktikan bahwa Prita memiliki unsur kesengajaan untuk mempunyai niat yang jahat terhadap pihak yang dirugikan," katanya.
Nur Kholis mengemukakan, pihaknya juga akan mendalami apakah tepat atau tidak Prita dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut.
Pasal tambahan?
Masih berkaitan dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, terdapat dugaan bahwa pasal tersebut ditambahkan oleh pihak kejaksaan. Padahal, pada awalnya Prita hanya dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP.
Namun, kejaksaan membantah telah memasukkan pasal dari UU ITE ke dalam berkas Prita Mulyasari, yang digugat dalam pencemaran nama baik oleh pihak RS Omni Internasional.
"Kejaksaan menerima penyerahan berkas tahap pertama (dari penyidik polisi), maka tugasnya jaksa untuk meneliti apa sudah lengkap atau tidak," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Abdul Hakim Ritonga, di Jakarta, Rabu (3/6).
Ia menambahkan, menurut penelitian jaksa, kasus tersebut memenuhi unsur UU ITE, maka dalam pemberian petunjuk (P19) ke penyidik supaya ditambahkan UU ITE.
Dasar penahanan itu sendiri, lanjutnya, terkait dengan ancaman maksimal kurungan selama enam tahun seperti yang tertuang dalam Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE.
Jaksa Agung Hendarman Supandji sendiri sudah memerintahkan jajarannya untuk melakukan pengkajian (eksaminasi) jaksa yang menangani perkara tersebut baik di Kejaksaan Tinggi Banten maupun Kejaksaan Negeri Tangerang.
Eksaminasi tersebut akan memeriksa semua pihak yang terlibat dalam proses penanganan perkara tersebut. Hasil dari eksaminasi diperkirakan akan selesai pada Kamis (4/6) ini.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira mengatakan, penyidik kepolisian tidak pernah menahan Prita Mulyasari.
"Kendati ancaman hukuman dia, enam tahun penjara, namun penyidik kepolisian tidak menahannya selama proses penyidikan," katanya di Jakarta, Rabu (3/6).
Ia mengatakan, penahanan tersangka justru dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang setelah pihak kepolisian melimpahkan berkas dan tersangka ke jaksa penuntut umum.
Enggan berpendapat
Peristiwa yang menimpa Prita Mulyasari juga mendapat simpati dari banyak orang. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa kasus tersebut bisa membuat warga enggan berpendapat atau menyampaikan unek-uneknya di jaringan dunia maya (internet).
"Kasus itu bisa membuat orang takut untuk menulis di internet," kata Lulu Fitri (32), pegawai penerbitan yang kantornya terletak di Lebak Bulus.
Menurut Lulu, kasus tersebut menunjukkan bahwa pihak yang lebih banyak memiliki sumber daya bisa membuat seseorang terpaksa mendekam di tahanan.
Padahal, ujar dia, Prita itu sendiri hanyalah ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak yang masih kecil.
Senada dengan Lulu, warga lainnya, Rahman (28) mengatakan, kasus tersebut bisa berdampak negatif, yakni membuat orang enggan untuk mengeluh atau mengkritik.
Sementara itu, karyawan biro iklan di Menteng, Fajar Zikri (31) berpendapat, seharusnya pihak RS Omni cukup bereaksi dengan menggunakan hak jawab.
Sedangkan seorang ibu rumah tangga, Mira Wibawa (34) menuturkan, wajar saja bila seseorang mengeluhkan pelayanan yang diterimanya di milis internet. "Kalau ada yang tidak beres, maka wajar bila orang mengeluh," katanya.
Ibu seorang anak itu mengaku bingung mengapa Lia Eden yang terkena kasus penodaan agama mendapat vonis dua tahun enam bulan tetapi Prita Mulyasari yang hanya menulis surat keluhan bisa diancam enam tahun.
Prita memang telah keluar dari rumah tahanan karena statusnya telah berubah menjadi tahanan kota. Tetapi, kasus yang menimpanya masih akan disidangkan dalam pengadilan yang dianggap sejumlah orang sebagai pengadilan terhadap kebebasan berpendapat.