6.04.2009

Kasus Prita, Pengadilan Terhadap Kebebasan Berpendapat

Kamis, 4 Juni 2009 | 20:49 WIB
Sumber : Kompas.com
Oleh Muhammad Razi Rahman
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari (32) bisa jadi merupakan salah satu peristiwa penting yang menjadi tonggak sejarah dalam lembaran perjalanan penegakan salah satu hak asasi manusia, yaitu kebebasan berpendapat.
"Ya, saya melihat bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat ibu Prita sedang diadili," kata Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, Nur Kholis, kepada Antara di Jakarta, Rabu (3/6).
Nur Kholis menuturkan hal tersebut ketika ditanya apakah terdapat indikasi pelanggaran HAM dalam kasus pidana tentang pencemaran nama baik yang dilancarkan RS Omni Internasional kepada Prita.
Kasus Prita berawal ketika Prita pada 15 Agustus 2008 menuliskan keluhan dalam surat elektronik (email) kepada kalangan terbatas tentang pelayanan RS Omni Internasional di Tangerang.
Namun, isi dari surat elektronik tersebut tersebar ke sejumlah milis sehingga RS Omni mengambil langkah hukum.
Dalam gugatan perdata, Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan pihak RS Omni sehingga Prita menyatakan banding.
Sedangkan kasus pidananya mulai digelar pada PN Tangerang pada Kamis (4/6). Prita dalam kasus tersebut dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah enam tahun penjara. Dengan alasan tersebut, pihak kejaksaan menahan Prita di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009.
Setelah mendapat dukungan antara lain dari ribuan pengguna internet, derasnya pemberitaan dari berbagai media massa, dan juga perhatian dari berbagai pejabat tinggi Indonesia, status Prita akhirnya diubah dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.
Nur Kholis menegaskan, tidak layak bila seseorang yang menuliskan surat keluhan lalu mendapat ancaman hukuman hingga enam tahun penjara. "Itu adalah hal yang berlebihan," katanya.
Senada dengan Nur Kholis, Direktur Eksekutif LSM Indonesia Resources Legal Center (ILRC) Uli Parulian Sihombing pada Selasa (2/6) mengatakan, pemidanaan kasus pencemaran nama baik itu adalah tindakan yang sangat berlebihan. "Sangat berlebihan bila sampai harus dipidanakan," kata Uli.
Menurut Uli, penyampaian keluhan dari Prita terhadap pelayanan RS Omni seharusnya merupakan bagian dari kebebasan dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sosial dan politik, antara lain menetapkan hak orang untuk menyampaikan pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyampaikan pendapat (Pasal 19).
Selain itu, Uli berpendapat bahwa Prita yang dijerat secara pidana dengan Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan sukar dibuktikan oleh pihak pengadilan.
"Pengadilan harus benar-benar bisa membuktikan bahwa Prita memiliki unsur kesengajaan untuk mempunyai niat yang jahat terhadap pihak yang dirugikan," katanya.
Nur Kholis mengemukakan, pihaknya juga akan mendalami apakah tepat atau tidak Prita dijerat dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tersebut.
Pasal tambahan?
Masih berkaitan dengan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, terdapat dugaan bahwa pasal tersebut ditambahkan oleh pihak kejaksaan. Padahal, pada awalnya Prita hanya dijerat dengan pasal 310 dan 311 KUHP.
Namun, kejaksaan membantah telah memasukkan pasal dari UU ITE ke dalam berkas Prita Mulyasari, yang digugat dalam pencemaran nama baik oleh pihak RS Omni Internasional.
"Kejaksaan menerima penyerahan berkas tahap pertama (dari penyidik polisi), maka tugasnya jaksa untuk meneliti apa sudah lengkap atau tidak," kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum), Abdul Hakim Ritonga, di Jakarta, Rabu (3/6).
Ia menambahkan, menurut penelitian jaksa, kasus tersebut memenuhi unsur UU ITE, maka dalam pemberian petunjuk (P19) ke penyidik supaya ditambahkan UU ITE.
Dasar penahanan itu sendiri, lanjutnya, terkait dengan ancaman maksimal kurungan selama enam tahun seperti yang tertuang dalam Pasal 27 jo Pasal 45 UU ITE.
Jaksa Agung Hendarman Supandji sendiri sudah memerintahkan jajarannya untuk melakukan pengkajian (eksaminasi) jaksa yang menangani perkara tersebut baik di Kejaksaan Tinggi Banten maupun Kejaksaan Negeri Tangerang.
Eksaminasi tersebut akan memeriksa semua pihak yang terlibat dalam proses penanganan perkara tersebut. Hasil dari eksaminasi diperkirakan akan selesai pada Kamis (4/6) ini.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Abubakar Nataprawira mengatakan, penyidik kepolisian tidak pernah menahan Prita Mulyasari.
"Kendati ancaman hukuman dia, enam tahun penjara, namun penyidik kepolisian tidak menahannya selama proses penyidikan," katanya di Jakarta, Rabu (3/6).
Ia mengatakan, penahanan tersangka justru dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Tangerang setelah pihak kepolisian melimpahkan berkas dan tersangka ke jaksa penuntut umum.
Enggan berpendapat
Peristiwa yang menimpa Prita Mulyasari juga mendapat simpati dari banyak orang. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa kasus tersebut bisa membuat warga enggan berpendapat atau menyampaikan unek-uneknya di jaringan dunia maya (internet).
"Kasus itu bisa membuat orang takut untuk menulis di internet," kata Lulu Fitri (32), pegawai penerbitan yang kantornya terletak di Lebak Bulus.
Menurut Lulu, kasus tersebut menunjukkan bahwa pihak yang lebih banyak memiliki sumber daya bisa membuat seseorang terpaksa mendekam di tahanan.
Padahal, ujar dia, Prita itu sendiri hanyalah ibu rumah tangga yang memiliki dua orang anak yang masih kecil.
Senada dengan Lulu, warga lainnya, Rahman (28) mengatakan, kasus tersebut bisa berdampak negatif, yakni membuat orang enggan untuk mengeluh atau mengkritik.
Sementara itu, karyawan biro iklan di Menteng, Fajar Zikri (31) berpendapat, seharusnya pihak RS Omni cukup bereaksi dengan menggunakan hak jawab.
Sedangkan seorang ibu rumah tangga, Mira Wibawa (34) menuturkan, wajar saja bila seseorang mengeluhkan pelayanan yang diterimanya di milis internet. "Kalau ada yang tidak beres, maka wajar bila orang mengeluh," katanya.
Ibu seorang anak itu mengaku bingung mengapa Lia Eden yang terkena kasus penodaan agama mendapat vonis dua tahun enam bulan tetapi Prita Mulyasari yang hanya menulis surat keluhan bisa diancam enam tahun.
Prita memang telah keluar dari rumah tahanan karena statusnya telah berubah menjadi tahanan kota. Tetapi, kasus yang menimpanya masih akan disidangkan dalam pengadilan yang dianggap sejumlah orang sebagai pengadilan terhadap kebebasan berpendapat.