6.21.2009

Komnas HAM Minta Pemerintah Tinjau Ulang Pengiriman TKI

Sumber : Hukum Online
17/06/09

Sebaiknya pengiriman TKI dihentikan dulu sebelum ada mekanisme yang jelas mengenai jaminan keamanan, keselamatan dan hak TKI di luar negeri.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ungkapan ini mungkin tepat dialamatkan kepada Siti Hajar, seorang Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia. Alih-alih mencari peruntungan di negara lain, gaji dan hak lainnya selama 34 bulan malah sempat tak dibayarkan. Parahnya lagi, sang majikan kerap menyiksa Siti Hajar dengan menyiramkan air panas ke sekujur tubuhnya.
Tak lama berselang, muncul lagi kisah duka TKI lain yang terungkap media massa. Nurul Widayanti, seorang TKI yang juga bekerja di Malaysia ditemukan meninggal di rumah majikannya. Dugaan sementara, ia mati karena bunuh diri.
Cerita Siti Hajar dan Nurul seolah kian memperpanjang kisah kelam para TKI di luar negeri. Tak jarang kita mendengar kabar beberapa TKI yang menjadi korban penyiksaan, pelecehan, pemerkosaan, pembunuhan atau bahkan terpaksa dideportasi karena dianggap ilegal. Namun tak sedikit juga kisah ‘sukses’ TKI yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya sepulang dari luar negeri.
Banyaknya kasus pelanggaran hak TKI yang bernuansa HAM tampaknya membuat Komnas HAM harus kerja keras. Betapa tidak, sepanjang 2008 saja Komnas HAM mencatat 169 aduan kasus terkait pelanggaran hak-hak TKI. “Saya yakin jumlah kasus yang sebenarnya lebih besar lagi. Tapi mungkin karena faktor geografis, banyak TKI maupun keluarganya yang tak mengadu ke Komnas HAM,” kata Komisiner Komnas HAM, Nurkholis kepada wartawan, Selasa (16/6).
Komnas HAM, lanjut Nurkholis, tak berusaha menyelesaikan sendiri semua aduan itu. Melainkan ‘membaginya’ dengan instansi lain seperti kepolisian maupun Departemen Luar Negeri. “Sayangnya, hanya 30 persen yang ada kabar hasil penyelesaian itu kepada kami. Penyelesaiannya macam-macam. Seperti pembayaran upah dan hak lainnya dan pemulangan TKI ke daerah asalnya.”
Meski beberapa kasus TKI bisa diselesaikan, Komnas HAM belum berpuas diri. Sebaliknya justru makin merasa bingung dengan kebijakan pemerintah dalam melindungi TKI di luar negeri. “Jika pemerintah sudah menyerah dalam melindungi TKI, sebaiknya patut dipertimbangkan kebijakan untuk menghentikan sementara pengiriman TKI. Setidaknya sampai pemerintah mampu menjamin rasa aman, kenyamanan dan hak-hak TKI,” Nurkholis mendesak.
Sebelumnya, usulan penghentian sementara pengiriman TKI –lebih spesifik yang bekerja di sektor rumah tangga (PRT)- ke luar negeri dilontarkan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat. “Maraknya kekerasan terhadap pekerja rumah tangga ini disebabkan karena sifat kerjanya yang tertutup, pola hubungan yang subyektif, dan profesi PLRT di banyak negara termasuk Malaysia, tidak dilindungi Undang-Undang Tenaga Kerja setempat,” kata Jumhur sebagaimana dikutip dari situs bnp2tki.go.id.

Revisi UU

Di tempat yang sama, Hesti Armiwulan, komisioner Komnas HAM yang lain menuding UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI sebagai salah satu penyebab maraknya pelanggaran hak TKI. “Semangat Undang-Undangnya masih lebih mengedepankan industrialisasi TKI. Bukan bagaimana melindungi dan menegakkan hak asasi para buruh migran.”
Oleh karena itu, sambung Hesti, salah satu rekomendasi yang bisa ditawarkan Komnas HAM adalah merevisi UU 39/2004 dengan melandaskan pada semangat penegakkan HAM bagi TKI. “Kalau berlandaskan HAM, tak ada masalah apakah buruh migrannya itu legal atau ilegal,” kata Anis lewat telepon, Selasa (16/6).
Senada dengan Hesti, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah menyatakan paradigma UU 39/2004 masih menempatkan TKI sebagai aset ekonomi. “Bukan sebagai manusia yang punya hak untuk dilindungi karena rentan terhadap berbagai masalah.”
Lebih jauh Anis berharap revisi UU 39/2004 juga memasukkan hak fundamental TKI seperti halnya hak normatif buruh yang terdapat di UU Ketenagakerjaan. Hak itu meliputi hak mendapatkan upah layak, hak berlibur, dan kebebasan berserikat.
Agar lebih bertaji, Anis mengusulkan agar revisi UU juga mengatur mengenai sanksi pidana bagi pelanggar hak TKI. “Undang-Undang yang sekarang sanksinya lemah. Cuma administratif, bukan pidana. Padahal negara berkewajiban memberi perlindungan terhadap TKI.”